Syaikh Bin Baz rahimahullah pernah ditanya:
Samahatus Syaikh, sebagian orang ada yang berpendapat bahwa amal bukan termasuk rukun [pilar] keimanan. Menurut mereka, amal adalah bagian penyempurna [iman] saja. Sejauh mana kebenaran pendapat ini?
Beliau rahimahullah menjawab:
Dalam masalah amal, ada perinciannya. Sebagian amal ada yang termasuk pokok keimanan, dan sebagian yang lain termasuk penyempurna atasnya. Iman adalah ucapan dan amalan, ia bertambah dan berkurang. Iman menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah terdiri dari ucapan dan amalan. Ia bertambah karena ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan.
Sholat adalah iman. Zakat adalah iman. Puasa adalah iman. Haji adalah iman. Amar ma’ruf dan nahi munkar pun [termasuk] iman. Demikian seterusnya. Meskipun demikian, sebagian diantaranya ada yang jika ditinggalkan menyebabkan pelakunya tergolong pelaku maksiat [dan tidak menjadi kafir, pent].
Orang yang tidak menunaikan zakat [misalnya] menjadi termasuk pelaku maksiat dan bukan kafir. Atau orang yang membatalkan puasa Ramadhan tanpa udzur, maka dia pun termasuk pelaku maksiat namun tidak menjadi kafir berdasarkan pendapat yang benar. Atau orang yang menunda-nunda ibadah haji padahal dia mampu, maka dia termasuk pelaku maksiat dan tidak menjadi kafir.
Adapun orang yang meninggalkan sholat, maka menurut pendapat yang benar [lebih kuat] dia adalah kafir. Melakukan sujud kepada selain Allah, pelakunya juga dihukumi kafir. Orang yang mencela Allah atau mencela Rasul-Nya, dia pun dihukumi kafir. Menyembelih untuk -persembahan kepada- selain Allah, pelakunya juga dihukumi kafir.
Nas’alullahal ‘afiyah.
[lihat Asbab ats-Tsabat Amama al-Fitan, hal. 35]
Faidah Fatwa
Dari rangkaian tanya-jawab di atas, kita bisa memetik pelajaran berharga, diantaranya:
- Keutamaan ulama; bahwasanya mereka lah yang berhak dan berwenang untuk memberikan fatwa kepada umat manusia. Oleh sebab itu Allah memerintahkan untuk bertanya kepada mereka jika manusia tidak mengetahui suatu masalah agama
- Keutamaan bertanya kepada para ulama; bahwasanya menanyakan permasalahan kepada para ulama dan berkonsultasi dengan mereka adalah sebab kebaikan umat dalam memecahkan persoalan hidup mereka
- Menjaga adab dalam bertanya kepada para ulama, yaitu dengan menyampaikan pertanyaan dengan penuh kesopanan dan berusaha untuk tidak memojokkan individu tertentu di dalam pertanyaannya. Sebab maksud utama pertanyaan adalah untuk istifadah/mengambil faidah ilmu, bukan untuk menjatuhkan vonis kepada pihak tertentu yang bisa jadi mengambil pendapat lain yang keliru
- Hendaknya seorang mufti [pemberi fatwa] memberikan jawaban secukupnya bagi penanya dengan disertai penjelasan yang bisa memahamkan mereka terhadap pokok permasalahan yang ditanyakan. Sehingga, dengan jawaban itu si penanya bisa mengambil sikap dengan benar [bijak] terhadap masalah yang ditanyakan.
- Memberikan keterangan dengan menyebutkan kaidah para ulama dan memberikan contoh konkretnya adalah penjelasan yang bagus dalam memberikan fatwa. Jika suatu permasalahan membutuhkan perincian hendaknya diberikan rincian, sebab banyak kesalahpahaman timbul akibat penggunaan ungkapan yang mujmal/global tanpa disertai dengan rinciannya. Selain itu, mengembalikan masalah yang samar kepada masalah-masalah yang gamblang dan jelas adalah cara yang tepat dalam memberikan jawaban atas pertanyaan.
- Hendaknya seorang mufti menyampaikan kebenaran [pendapat yang kuat] walaupun dalam tataran ilmiah masalah yang dibicarakan memang terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, seperti halnya dalam masalah hukum orang yang meninggalkan sholat. Dan hal ini tidaklah menafikan adab khilaf, bahkan hal itu termasuk bagian dari nasihat.
- Harus dibedakan antara amalan yang jika ditinggalkan menyebabkan kafir dengan amalan yang jika ditinggalkan menyebabkan pelakunya termasuk pelaku maksiat. Di sinilah akar perbedaan keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar.
- Meninggalkan amal bisa merusak keimanan, dan hal ini adalah perkara yang diselisihi oleh Murji’ah yang mengatakan bahwa kemaksiatan -termasuk di dalamnya meninggalkan amal/kewajiban- tidak membahayakan keimanan.
- Membantah ahlul bid’ah atau firqah yang menyimpang tidak harus selalu dengan menyebutkan nama pelaku atau kelompoknya; sebab yang menjadi inti adalah bantahan untuk kesalahan, siapapun pelakunya. Oleh sebab itu para ulama, seperti Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menganjurkan agar bantahan lebih ditekankan pada kekeliruannya, bukan pada orang yang mengucapkannya. Inilah manhaj para ulama salaf terdahulu, semacam Imam Bukhari rahimahullah dalam Kitab Sahihnya. Dan hal ini tidak menafikan boleh atau bahkan dianjurkannya menyebutkan pelaku penyimpangan jika hal itu dibutuhkan dan semestinya dijelaskan. Sebagaimana hal itu pun dilakukan oleh para ulama salaf kita terdahulu seperti Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah dalam Kitabnya ar-Raddu ‘ala al-Jahmiyah. Wallahu a’lam.